
sekilasdunia.com - Banjir bandang yang menerjang Sumatra membawa banyak kayu gelondongan yang menjadi kontroversi masyarakat. Ada yang menyebutnya sebagai kayu hasil penebangan. Ada pula yang menyebut pohon-pohon kayu itu tumbang secara alami.
Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan sekaligus Kepala Pusat Studi Bencana IPB University, Profesor Bambang Hero Saharjo, menilai bahwa karakteristik material kayu yang ditemukan di lokasi banjir Sumatra menunjukkan indikasi keterlibatan aktivitas manusia.
Prof Bambang menegaskan bahwa kondisi tersebut tidak sepenuhnya dapat dijelaskan sebagai kayu lapuk atau dampak runtuhan alami.
Dalam penjelasannya, Prof Bambang mengaitkan temuan tersebut dengan kasus serupa yang pernah ia tangani beberapa tahun lalu di kawasan lindung Sumatra Utara.
Dia menggambarkan bahwa hutan yang masih sehat memiliki struktur tajuk yang rapat dan bertingkat, sehingga mampu memecah dan menahan laju air hujan. “Walaupun ada air, dia tidak langsung ke permukaan. Dia jatuh di tajuk, pecah, kemudian sebagian mengalir melalui batang atau stem flow,” jelasnya.
Prof Bambang menambahkan, keberadaan tumbuhan bawah dan serasah berperan penting dalam menyerap air serta menjaga kestabilan ekosistem hutan.
Lapisan vegetasi yang berjenjang, mulai dari tajuk atas hingga vegetasi bawah, menurutnya, merupakan sistem penyangga alami yang menjaga keseimbangan lingkungan.
“Tuhan menciptakan ini tentu saja untuk kebaikan manusia dan lingkungannya,” ujar Prof Bambang seperti dikutip dari laman IPB.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tumbangnya satu atau dua pohon dalam kondisi alami bukan merupakan ancaman bagi ekosistem. “Pohon ini, ya, kalaupun tumbang, itu tidak banyak. Paling hanya satu, dua. Dan itu alami,” tutur dia.
Prof Bambang menerangkan, sistem perakaran pohon tua yang kuat membuat hutan tetap stabil, dan ketika satu pohon tumbang, ruang kosong tersebut segera diisi oleh regenerasi spesies baru.
Namun, ia melanjutkan, masalah muncul ketika aktivitas pembalakan liar memasuki kawasan hutan. Gangguan pada vegetasi menghilangkan kerapatan tajuk dan membuka celah yang memicu perubahan drastis dalam aliran air serta kestabilan tanah.
Menurut Prof Bambang, hilangnya fungsi tajuk menyebabkan air hujan jatuh langsung ke permukaan tanah tanpa proses pemecahan alami, sehingga erosi berlangsung lebih cepat dan risiko longsor meningkat.
Prof Bambang menegaskna, “Kayu-kayu besar yang ditemukan pascabencana merupakan konsekuensi dari rusaknya lapisan-lapisan vegetasi akibat aktivitas manusia tersebut.”
Sebelumnya, Ahli Kebijakan Hutan IPB University, Prof Dodik Ridho Nurochmat, juga sempat buka suara bahwa kayu-kayu besar dan kecil yang tampak berserakan di lokasi bencana tidak berasal dari satu penyebab tunggal.
Berdasarkan informasi visual yang beredar di media sosial dan televisi, ia menilai kayu tersebut kemungkinan berasal dari campuran penebangan, pohon tumbang, serta sisa land clearing yang tidak dibersihkan.
“Bisa dari penebangan lama atau pembersihan lahan yang tidak tuntas. Jika terbawa arus air, kayu itu akan mengambang. Namun bisa juga dari penebangan kayu yang baru. Untuk itu harus ada investigasi,” ujarnya.
Ia belum dapat memastikan apakah kayu tersebut seluruhnya merupakan kayu gelondongan baru atau kayu lama yang terseret arus. Debit air besar saat longsor, kata dia, memungkinkan pohon tumbang ikut hanyut sehingga menambah campuran material kayu di lokasi.
Prof Dodik juga menjelaskan perbedaan kayu hasil pembalakan dengan kayu tumbang alami. Menurutnya, kayu hasil tebangan pasti memiliki bekas gergaji yang jelas. Sementara kayu yang tumbang alami tidak menunjukkan pola potongan yang rapi. Namun ia menilai sulit melakukan identifikasi detail hanya dari video atau foto.
“Dari gambar terlihat potongan kayu berukuran kecil dan besar. Tapi tidak bisa dilihat secara detail apakah potongannya rapi atau akibat tumbang alami,” katanya. Ia menekankan perlunya pembenahan tata kelola lingkungan agar kejadian serupa dapat dicegah.
Terkait penyebab longsor, Prof Dodik menyebut kejadian tersebut merupakan kombinasi faktor alam dan faktor manusia. “Ada cuaca ekstrem, kondisi geografis pegunungan, dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia,” ujarnya.
Ia menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap regulasi seperti AMDAL, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, serta penegakan hukum yang tidak hanya fokus pada denda, tetapi juga pemulihan lingkungan.
Prof Dodik mengingatkan agar penurunan tutupan hutan diperhatikan serius karena berdampak pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hutan memiliki banyak manfaat, baik bagi ekologi maupun ekonomi, tetapi pemanfaatannya harus tetap menjaga keberlanjutan. Prof Dodik menegaskan, "Masyarakat harus bisa mengambil manfaat dari hutan tanpa merusaknya."
You are reading the newest post
Next Post »